Saturday, September 24, 2011

BISMILLAH, SAYA KEMBALI KE DESA UNTUK MEMBANGUN DESA


Ibukota Jakarta atau kota-kota besar lainnya di Indonesia seringkali dipusingkan oleh arus urbanisasi dari desa. Jakarta atau kota-kota besar tersebut sungguh menarik dan telah menjadi mimpi indah bagi kebanyakan orang-orang yang tinggal di desa. Oleh karenanya, pada musim-musim tertentu seperti pasca lebaran, berduyun-duyunlah orang-orang desa masuk kota. Mereka tidak perduli dengan keterampilan yang mereka miliki. Dengan segala keterbatasan, mereka tetap nekat untuk mengadu nasib ke kota. Konsekwensinya, mereka tidak mampu berkompetisi yang membuat mereka jadi pengangguran. Mereka tidak produktif dan akhirnya menjadi beban bagi kota yang didatangi.

Mengatasi masalah urbanisasi dari desa ke kota ini tidaklah mudah. Kota Jakarta dengan opearasi yustisinya toh juga belum memberikan hasil yang optimal. Demikian juga dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia denga berbagai program dadakannya. Program-program instan yang dilakukan dinilai tak akan memberikan hasil yang positif dalam rangka menanagani isu urbanisasi ini. Pola klasik namun sangat rasional yang diharapkan bisa menyelesaikan masalah ini adalah dengan membangun atau mengadakan berbagai lapangan kerja di desa sehingga kesenjangan jumlah kesempatan kerja di kota dan di desa tidak terlalu mencolok. Kata kuncinya adalah menciptakan lapangan kerja di desa. Berangkat dari realitas inilah, setelah 15 tahun menetap di kota Balikpapan dengan sedikit modal yang ada, Bismillah, saya berniat pulang kampung untuk membangun tanah kelahiran saya dengan membuat lapangan kerja bagi kakak dan adik-adik saya serta kerabat dan handai taulan yang bermukim di desa supaya mereka tidak menjadi beban bagi negara. InsyaALLAH !

Balikpapan, 1 Syawal 1432 H - 1 Agustus 2011

Syamsul Aematis Zarnuji
Desa Senayan-Poto Tano
Kab. Sumbawa Barat-NTB

Thursday, September 20, 2007

DIA ANAKKU DAN GURU TERBAIKKU



Namanya Muhdarul Islami Zarnuji. Di sekolah dia biasa dipanggil Darul sementara di rumah, saya, bundanya, adiknya dan teman-teman sepermainannya selalu memanggil dia A’A. Mungkin ada yang bertanya, kenapa nama panggilannya jauh sekali berbeda dengan nama sebenarnya. Ceritanya unik dan proses pemberian nama panggilannya pun sangat simpel. Ketika ia dilahirkan lalu pertama kali bisa membuka matanya, saya bermaksud mengajak ia berinteraksi dengan memanggilnya. Tetapi nama panggilannya belum ada saat itu. Lalu saya minta pandangan pertamakali dari bundanya soal nama panggilan tersebut. Dalam keadaan yang masih belum begitu pulih betul, bundanya spontan aja berkata “panggil aja dia A’A”. “Lho.. kok A’A ?” tanya saya. “A’A itu berarti Mas atau Abang. A kalau kita setarakan dengan ALIF kan juga huruf awal baik dalam huruf latin maupun hijaiyah. Kan dia anak pertama”, timpalnya. Saya pikir-pikir, iya juga. Karena saya rasa nyambung akhirnya saya setuju saja dia dipanggil dengan sebutan A’A sampai sekarang.

Dia dilahirkan tanggal 12 Oktober 2000 di Magetan, Jawa Timur. Insya-Allah persis di hari terakhir Ramadhan 1428 H nanti ia genap berusia 7 tahun. Semasa dalam kandungan, ketika dilahirkan, hingga usia hampir 2 tahun, tidak ada sesuatu yang istimewa atau berbeda darinya. Namun sejak ia berusia 2 tahuun sampai saat ini, banyak sekali hal-hal yang ‘luar biasa’ yang dialaminya. Luar biasa dalam tanda kutip karena tidak biasa seperti kebanyakan anak-anak seusianya. Kalau kebanyakan anak yang berusia 2-3 tahun sudah bisa berbicara bahkan mengkomunikasikan keinginannya dengan lancar, anak laki-laki pertama saya ini pada usia-usia tersebut bahkan sampai usia 6 tahun sama sekali tidak bisa berbicara [menyebutkan kata-kata atau potongan kalimat yang lazim diujarkan oleh anak seusianya] apalagi berkomunikasi [memaknai dan memberi pesan yang sangat sederhana saja seperti jangan, pergi, ambil bantal, minta minum, mau makan dan sejenisnya dari orang lain]. Sempat suatu hari ketika bundanya mengandung anak kami yang kedua, kami datang ke sebuah tempat dokter praktik “IBNU SINA” untuk memeriksa kandungannya. Sementara menunggu giliran dipanggil, dia, saya dan bundanya duduk berjejer di sebuah bangku panjang dimana pasien biasa menunggu gilirannya. Tiba-tiba ada seekor kucing lewat di depan kami. Sontak saat itu dia melompat dari tempat duduknya ingin menangkap kucing itu padahal bagin anak-anak yang usia sekitar 1,7 tahun, hewan itu masih menakutkan bagi mereka. Tapi buat anak saya tersebut, sama sekali tidak tampak rasa takut sedikitpun. Karena kucing tersebut berlari, dia pun ikut berlari sejadinya kemana saja kucing tersebut berlari. Tidak cuman itu, nampak sekali dari expresi wajah dan gerakannya, sungguh dia dalam keadaan histeris. Dia berteriak mengeluarkan suara-suara yang sangat aneh yang sama sekali tidak kita mengerti. Karena khawatir dia celaka dan pasien lain terganggu, saya terpaksa ‘ikut-ikutan’ berlari sejadi-jadinya mengejar dia sambil berkata; berhenti A’A…. berhenti A’A… jangan… jangan… nak. Dia sama sekali tidak menggubris perintah saya. Menoleh pun tidak. Akhirnya saya pegang pundaknya, saya dekap sambil dia terus saja berontak. Saya balikkan badannya ke arah saya sambil saya bicara agak keras; “lihat ayah nak, … lihat ayah..” kata saya dengan nada yang sangat tinggi. Dia samasekali tidak bergeming. Dia tetap saja menunduk. Kesabaran saya sudah hampir habis. Saya pegang dagunya lalu saya tekan supaya dia menengadah ke saya. Astagfirullahhaladzim…. Subhanallah…. .. ! Sinar matanya hampa dan kosong. Tidak ada kontak mata [eye contact] sama sekali, seperti biasanya ketika seseorang anak melakukan komunikasi dengan orang lain.

Sebagai seorang ayah yang memiliki latar belakang pendidikan bahasa dan komunikasi, saya yakin betul bahwa kontak mata berhubungan erat dengan konsentrasi, perhatian dan pemahaman seseorang dalam sebuah komunikasi. Saya sempat baca di berberapa referensi bahwa salah satu cirri-ciri anak autis adalah kurang bahkan tidak adanya kontak mata saat kita ajak dia berbicara sehingga daya serap yang dimilikinya terhadap bahasa verbal [kata-kata atau ujaran] sangat minim. Hal ini akhirnya membuat penderita autis tidak bisa berbicara atau berkomunikasi. Selanjutnya dijelaskan, anak autis juga cenderung tidak peka dengan lingkungannya, tidak bisa mengontrol diri dan hiperaktif. Melihat cirri-ciri yang dimiliki oleh anak saya, saya mulai khawatir jangan-jangan dia terserang autis karena semua cirri-ciri yang saya sebutkan di atas dimilikinya saat itu.

Sejak saat itu, dia tidak pernah luput dari pantauan kami waktu demi waktu. Apa saja yang ia lakukan selalu menjadi perhatian kami, mulai dari cara ia duduk, tidur, gerakan kepala, tangan, kaki, suara atau ujaran yang sering diucapkan, hal-hal yang sangat ia sukai hingga apa-apa saja yang sudah bisa ia komunikasikan. Saya berusaha merekam hal itu detik demi detik sebagai referensi saya untuk menentukan gejala apa yang dialaminya dan penangan apa yang paling tepat baginya agar ia bisa seperti anak-anak yang lainnya. Diskusi tentang dia antara saya dengan bundanya menjadi menu wajib bagi kami entah pagi hari, siang hari, malam hari, setelah sholat, menjelang tidur hingga pagi datang kembali. Apalagi setelah kami amati, semakin hari justru semakin tidak ada kemajuan yang ia alami jika dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Yang bisa ia lakukan hanya berjingkrak-jingkrak, berlompatan kesana kamari dengan histeris sambil mengeluarkan ujaran yang aneh dari mulutnya. Untuk sekedar bilang ayah saja tidak bisa padahal usianya saat itu sudah 3 tahun. Setiap kali keluar rumah, pasti menjadi tontonan anak-anak sebaya lainnya. Tak ada seorang pun dari mereka yang bisa berteman dengannya. Olok-olokan dari mereka seperti anak gila, anak tidak normal dan ungkapan-ungkapan yang amat sangat menyayat perasaan kami sudah menjadi langganannya setiap kali ia berada diantara mereka.

Untuk memastikan apa yang diderita oleh anak kami saya berusaha mencari berbagai referensi tentang autis. Saya ‘googling’ di internet setiap ada kesempatan. Bahkan ketika saya di Amerika saya memborong 1 koli ‘used books’ tentang autos. Saya mendatangi dokter, psikolog, psikiater, sekolah-sekolah autis yang ada di Balikpapan. Saya juga ikut berbagai seminar autis baik yang dilaksanakan dengan melibatkan pembicara lokal, nasional bahkan internasional. Sekali lagi, satu tujuan saya, saya ingin memastikan apakah anak kami ini menderita autis. Namun sayang, walaupun waktu telah berjalan 1 tahun, belum ada satu pun dokter atau ahli yang berani menyimpulkan kalau anak kami ini menderita autis. Pernah suatu kali ada pakar autis dari Belanda yang menjadi pembicara pada seminar autis di kota Balikpapan. Namanya, kalau tidak salah, Fredofis. Nama tersebut selanjutnya digunakan sebagai nama salah satu sekolah Autis di Jogjakarta. Beliau memaparkan begitu detail tentang autis mulai dari cirri-cirinya hingga hal-hal yang dianjurkan untuk dilakukan oleh orang tua dalam menangani anak autis. Karena saya ingin mendapatkan jawaban yang memuaskan tentang symptom yang dialami oleh anak kami, saya mengajak dia langsung berkonsultasi dengan pakar tersebut. Sengaja saya lakukan hal itu supaya Mr. Fredofis bisa melihat langsung secara fisik anak kami. Tapi lagi-lagi kami kecewa karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Hasil diagnosanya sama seperti yang telah dilakukan oleh para dokter, psikolog atau psikiater sebelumya, “anak kami memiliki gejala autis, tetapi tidak autis”. Setiap kali dokter, psikolog, psikiater bahkan pakar autis dari Belanda tersebut menyebut kata-kata “tetapi tidak autis” dalam kesimpulan diagnosanya tersebut, saya melihat ada keraguan di raut wajah mereka. Sungguh sebuah kesimpulan yang membingungkan buat kami, padahal kami harus mengambil tindakan yang tepat dengan segera.
Setiap kali tetangga dekat atau teman sejawat kami bertanya tentang penanganan medis yang telah kami lakukan padanya, kami selalu menjawab dengan nada yang tidak bersemangat. Bagaimana tidak, kami belum melakukan tindakan apapun karena kami tidak tahu penyakit apa yang dideritanya. Tetangga kami yang mungkin merasa lebih modern dan mampu membeli apa saja yang diinginkannya seringkali dengan nada yang agak merendahkan kami meminta kami untuk menyekolahkan anak kami tersebut di salah satu sekolah autis di Balikpapan yang menurut ukuran kami biayanya sangat mahal. Hati kecil saya kadangkala bergumam " kami bukannya tidak mau atau tidak mampu menyekolahkannya di sekolah itu. Kami tidak mau melakukan itu karena kami tidak yakin jika anak kami menderita autis". Seandainya kami telah yakin kalau anak kami autis, sebagai orang tua, kami tentu akan berusaha semampu kami untuk memberikan penanganan yang optimal kepadanya.
Setiap kali bundanya melihat anak-anak sebayanya pergi ke sekolah, ia selalu meneteskan air mata. Seringkali ia sesenggukan di depan saya. Ia sangat khawatir kelak anaknya tidak diterima di sekolah manapun akibat kekurangan yang ia miliki.
Bagaimana cerita [pengalaman pribadi saya ini] selanjutnya ? Cek terus weblog ini !

WHEN I WAS IN USA : Giving Speech in the Opening Ceremony



Wah ... yang ngambil gambar ini nggak beres. Masa' audiencenya nggak ada nongol satupun. Foto ini diambil pada saat pembukaan program, sehari setelah nyampe USA. Saya didaulat dengan tiba-tiba oleh teman-teman untuk mewakili mereka menyampaikan sepatah dua patah kata dalam acara pembukaan International Tecahers Exchange tersebut.

WHEN I WAS IN USA : At Campus Dorm


Ternyata antara LA dengan Amherst, Massachuset jaraknya cukup jauh. Setelah mampir di Minieapolis dan Conneticut, malam hari sekitar jam 08.00 [ato kurang lebih jam 09.00 pagi di Indonesia], baru saya nyampe Hardford International Airport. Sekitar jan 08.30 baru dijemput sama team dari UMASS-The University of Massachusetts terus di bawa ke Campus Dormitory, Amherst untuk Brief Orientation. Nah, foto ini saya ambil ketika selesai BO. Ada acara penyambutan yang sangat sederhana sekali karena acara program yang akan kita ikuti belum dibuka secara resmi. Di foto tampak 10 guru yang mewakili Indonesia pada International Teachers Exchange tersebut. Wah... kelihatan pada lelah nih.

Wednesday, September 19, 2007

WHEN I WAS IN USA : Just arrived in L.A !


Foto ini saya ambil dengan kamera tersebunyi dan tergesa-gesa lagi dengan Nikon 4.5 Mega Fixel ketika baru sampai Los Angles-LA setelah 13 jam terbang dari Tokyo. Kenapa tersebunyi ? Di USA, untuk alasan security, kita dilarang ambil gambar di tempat-tempat tertentu seperti airport misalnya. Nggak kayak di Indonesia, main jepret aja.

Masuk Amerika itu memang susah ya. Bayangkan coba, kita yang diundang khusus sama 'Gedung Putih' aja masih harus dapat 'Secondary Inspection' ketika baru nyampe [First Entry] di LA. Saya masih agak beruntung karena hanya diminta isi beberapa blangko tentang identitas diri dan tujuan kunjungan ke Amrik. Teman saya, si Charles, karena wajahnya kayak Arab walaupun dia Batak harus ditambah lagi dengan pengambilan sumpah segala. Munkin saat itu masih taruma dengan September Eleven kali ya ?

The Zarnuji-Bpp-Indonesia


WHEN I WAS IN AUSTRALIA : Lari Karung Sama Bule

Ternyata seru ya kalo lawan kita lari karung orang Bule. Tadinya saya berpikir pasti saya kalah soalnya kaki mereka kan panjang-panjang. Kita dua langkah, dia baru satu. Saya nggak sadar kalau ukuran karungnya sama. Jadi lebar langkah yang bisa kita buat sebenarnya sama saja. Makanya saya menang lho ! Oh ya, si kecil sama saya itu putri cantiknya si Andrew Yong, homestay family saya [Aussie, 2 Oktober 200].


Enjoy Aja !

WHEN I WAS IN AUSTRALIA : LAURER BANK PARK & PICNIC POINT, Taman Favorit Saya di Toowoomba




It always bears in mind ! Every weekend I had to spare one or two hours just to have sightseeing. I love LAURER BANK PARK and PICNIC POINT. They are the most beautiful and favorable flower gardens I had ever seen in Toowoomba [www.toowoomba.gov.qld.au] I guess. Toowoomba is a beautiful garden city situated 127 kilometers to the west of Brisbane, a state capital of Queenland. Enjoy the pictures and panorama !




The Zarnuji-Bpp-Indonesia